Sekedar berbagi cerita bagaimana dampak dari bully yang dihadapi oleh putri kami.
Ketika kecil,putri kami,Stef senang sekali bernyanyi. Apapun kegiatan yang sedang dilakukannya,pasti diiringi dengan nyanyian kecilnya. Entah dengan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
Namun, tanpa kami sadari, saat memasuki usia sekolah dasar, ia mulai jarang bernyanyi lagi, dan kami hanya berfikir kalau itu dikarenakan kesibukan sekolahnya.
Saat kelas 3 SD,dia sering mengeluh kalau sering diejek temannya dan tak jarang pula dia menangis meminta pindah sekolah. Ketika kami menyampaikan kepada wali kelasnya, di sanalah kami baru mengetahui bahwa putri kami menjadi korban bully kawan-kawan sekelasnya. Setiap Stef bernyanyi, selalu di cemooh dengan kata-kata,”suaramu gak enak,jangan nyanyi.”
Puncaknya saat kelas 4 SD, setiap pagi dia mengeluh sakit perut. Dan beberapa kali kami membawanya ke dokter, mulai dari dokter umum hingga dokter gizi. Dan semua jawaban dokter sama,”jangan stress.”
Hampir setiap pulang sekolah, Stef selalu menangis karena diejek teman-temannya. Bahkan pernah,saat Stef mau mengambil tas nya, salah seorang temannya langsung membuang tas nya, sehingga tangan putri kami hampir terkilir karena mau mencegah tas nya dibuang.Jadi bully yang dialami putri kami,bukan hanya berupa lisan tapi juga berupa perbuatan.
Kebetulan guru kelas 4 ini tidak sebaik guru kelas 3. Bisa dibilang “killer”. Jadi anak saya jadi makin takut. Pernah Stef mengatakan bahwa dasinya hilang di kelas, dan sang guru hanya berucap, “bukan urusan saya.” Sejak itu,dia pun makin takut dengan gurunya.
Karena kami lihat kondisi Stef yang makin parah,sering sakit-sakitan, akhirnya kami menemui guru wali kelas. Dan sang guru berjanji bahwa besok akan disampaikan ke guru BP untuk diselesaikan dan mengusut siapa yang telah membully Stef. Tapi ternyata sampai 3 hari, tidak ada panggilan dari guru BP, sampai akhirnya Stef yang menghampiri guru BP.
Hari itu memang diusut siapa yang membully Stef, dan mereka hanya disuruh minta maaf dan tidak ada tindakan lain, seperti orang tua dipanggil atau bagaimana. Tentu saja, mereka makin menjadi-jadi. Setiap pulang sekolah, Stef selalu menangis dan setiap pagi selalu mengeluh sakit perut.
Mungkin karena stress,jadi asam lambungnya naik.
Akhirnya hari itu juga kami pindahkan Stef ke sekolah lain.
Saat menemui guru wali kelas untuk menyampaikan bahwa Stef telah kami pindahkan, hanya dijawab,”koq gak bilang saya kalau ada kejadian seperti ini.” Tentu saja kami ikut bingung, kemarin yang kami sampaikan itu berarti hanya dianggap angin lalu saja.
Di sekolah yang baru, anak saya disambut dengan baik oleh para guru dan teman-temannya. Keceriaan Stef mulai kembali. Namun percaya dirinya yang telah luluh lantak belum kembali sepenuhnya. Bahkan untuk bernyanyi saja, dia seperti tidak punya nada, hanya seperti membaca buku.
Akhirnya kami mengambil alternatif untuk mengambilkan kursus musik, dan kami ceritakan kondisi Stef tersebut pada guru musiknya. Kebetulan guru musik yang mendampingi Stef adalah teman dekat.
Perlu waktu bertahun-tahun untuk memulihkan rasa percaya dirinya. Saat kelas 6 SD, ketika ujian menyanyi, guru sekolah dengan sabar dan telaten mendampingi Stef untuk berlatih bernyanyi. Di sekolah baru ini, kami memang menyampaikan kondisi yang dialami Stef.
Di sekolah yang baru ini, Stef benar-benar diajak untuk membangkitkan rasa percaya dirinya. Jadi ketika ada perlombaan Story Telling, Stef mengutaran bahwa ia ingin bisa mengikuti perlombaan tersebut.
Saat itu saya hanya menyampaikan pada guru pendamping, bahwa saya tidak mengharapkan Stef menang, tapi saya hanya ingin dia bisa membangkitkan rasa percaya dirinya untuk bisa berbicara di depan umum. Dan sang guru pun menyanggupinya. Beberapa latihan direkam dan diberikan pada saya. Untuk berlatih berbicara di depan umum, Stef berlatih berbicara di depan murid-murid di kelas lain. Tentu saja saya sangat bahagia melihatnya.
Di sekolah yang baru ini, rasa percaya dirinya mulai muncul, mulai pulih, meskipun belum 100%. Tapi terlihat kemajuannya secara bertahap.
Kasus bully tidak dapat dianggap ringan, karena butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan kondisi psikisnya.